Rabu, 31 Agustus 2011

Pro Kontra Hisab (Perhitungan).....

Peneliti LAPAN Rela Disebut Provokator Demi Kemajuan Muhammadiyah

Stefanus Yugo Hindarto - Okezone 
JAKARTA- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengecam pernyataan Thomas Djamaluddin, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang menyebut metode hisab dan rukyat yang digunakan Muhammadiyah sudah tak sesuai lagi digunakan untuk menetapkan awal Ramadan dan 1 Syawal.

Din juga menyebut, Thomas sebagai seorang provokator yang berbahaya yang bersembunyi di balik kedok ilmiah dengan menyalahkan pihak lain. Dalam sidang Itsbat di kantor Kementerian Agama, kemarin, Thomas memberi pemaparan mengenai penghitungan penetapan 1 Syawal dengan cara melihat bulan baru atau hilal. Saat itu dia menyinggung metode hisab dan rukyat yang kerap menimbulkan perbedaan penetapan.

Terkait Hal itu, Thomas pun mengatakan dirinya rela disebut provokator demi mengubah pandangan Ormas Islam tersebut. “Tidak apa-apa, Tujuan saya provokatif untuk menyadarkan Muhammadiyah, saya bukan menyerang Muhammadiyah, tapi kriterianya,” kata Thomas saat berbincang dengan okezone, Selasa (30/8/2011).

Dikatakannya, pada dasarnya penyatuan umat melalui penyatuan kalender Islam hampir terwujud. Dua syarat penyatuan kalender Islam sebenarnya sudah terpenuhi, yakni adanya otoritas tunggal yakni kementerian agama, dan faktor kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia. “Tinggal satu langkah lagi yaitu penyatuan kriteria terkait penentuan awal bulan, ini yang belum terpenuhi,” kata Thomas.

Mengapa? Saat ini, kondisi dalam pembuatan kalender semuanya berdasarkan hisab (perhitungan). “Semuanya telah menggunakan kriteria Imkan Rukyat yaitu kemungkinan untuk bisa di Rukiyat. Kecuali Muhammadiyah yang menggunakan kriteria usang kriteria, Wujudul hilal,” katanya.

Wujudul Hilal merupakan kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriah dengan menggunakan dua prinsip, Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset). Maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

“Muhammdiyah mengatakan bahwa alasan ketinggian dua derajat tidak ilmiah. Tapi menurut saya ketinggian 0 derajat yang disebut dipegang Muhammadiyah justru tidak Ilmiah,” katanya.

Thomas saat ini terus berupaya mengajak Muhammadiyah mengubah kriteria tersebut supaya sama-sama mewujudkan sistem kalender yang seragam dan mapan. “Sistem kalender yang bukan hanya digunakan untuk ibadah. Tetapi juga untuk kegiatan bisnis, dan pemerintahan,” katanya.

“Kriteria Imkan rukiyat bisa mempersatukan hisab dan rukyat, bila Muhammadiyah tetap pada pendirian dan keyakinannya maka hal ini akan terus terulang. Pada tiga tahun ke depan yakni 2012, 2013, 2014, nantinya akan mengalami perbedaan awal Ramadan antara Muhammadiyah dengan ormas-ormas lain, karena perbedaan kriteria tersebut,” katanya.

Dikatakan Thomas, sebenarnya dia telah mencoba untuk mendiskusikan penentuan kriteria tersebut dengan Muhammadiyah sejak tahun sepuluh tahun silam. “Namun, mereka menutup diri karena berdalih itulah keyakinan mereka,” katanya.

Padahal, kriteria usang yang digunakan Muhammadiyah yakni Wujudul Hilal, justru kata Thomas bisa memecah belah umat. Sebagai ormas besar yang modern, Thomas berharap agar Muhammadiyah mau berubah demi penyatuan Umat.

“Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah,” kata Thomas. (ugo)
Sumber : Okezone
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar