Minggu, 18 September 2011

Indonesia President Can Intervene but Not Meddle in Law Enforcement

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP

Constitutional Court Chairman Mahfud MD


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - As the country’s supreme leader, the president may intervene but not meddle in law enforcement, Constitutional Court Chairman Mahfud MD said here on Saturday.

"This is of great importance because the Indonesian state rests on three main pillars, namely the executive , legislative and judiciary branches while the judiciary relies on the president as the representative of the executive branch," Mahfud said at Gajah Mada University’s Faculty of Law.
Speaking after a discussion and the launch of "Indonesia Optimis", a book written by Denny Indrayana, Mahfud said the head of state’s interference of law enforcement was different from intervention.

"Presidential interference is in relation to legal issues that meet a deadlock, but it remains forwarding the principles of law such as ethics, morals, and justice," he said. Mahfud added that the president’s interference was to seek out a way out if there was a very urgent issue that needed an immediate decision. In this way, he said the presidential interference was necessary.

"In that context, the most important things is that the principle of justice should be put forward," said the professor of Indonesian Islamic University (UII) Faculty of Law.

According to Mahfud, justice in Indonesia at present was showing a progress, especially in corruption eradication effort compared to that before the reform era.

"The Corruption Eradication Commission (KPK) was established in 2003 but its status was not clear at the time. But after the reform era the KPK had its own office and was permitted to arrest corrupt officials," he said. 

TERJEMAHANNYA

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sebagai pemimpin tertinggi negara itu, presiden mungkin ikut campur tetapi tidak ikut campur dalam penegakan hukum, Mahkamah Konstitusi Mahfud MD Ketua kata di sini pada hari Sabtu.

"Ini sangat penting karena negara Indonesia didasarkan atas tiga pilar utama, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara pengadilan bergantung pada presiden sebagai wakil dari cabang eksekutif," kata Mahfud di Fakultas Gajah Mada Universitas Hukum.
Berbicara setelah diskusi dan peluncuran "Indonesia optimis", sebuah buku yang ditulis oleh Denny Indrayana, Mahfud mengatakan kepala negara campur tangan penegak hukum berbeda dari intervensi.
"Campur tangan Presiden dalam kaitannya dengan masalah hukum yang memenuhi kebuntuan, tapi tetap meneruskan prinsip-prinsip hukum seperti etika, moral, dan keadilan," katanya. Mahfud menambahkan bahwa gangguan presiden adalah untuk mencari jalan keluar jika ada masalah yang sangat mendesak yang membutuhkan keputusan segera. Dengan cara ini, ia mengatakan diperlukan campur tangan presiden.

"Dalam konteks itu, hal yang paling penting adalah bahwa prinsip keadilan harus dikedepankan," kata profesor dari Universitas Islam Indonesia (UII) Fakultas Hukum.  


Menurut Mahfud, peradilan di Indonesia saat ini adalah menunjukkan kemajuan, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi dibandingkan dengan sebelum era reformasi.

"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada tahun 2003 tetapi statusnya tidak jelas pada saat itu. Tapi setelah era reformasi KPK punya kantor sendiri dan diizinkan untuk menangkap para pejabat korup," katanya.


Sumber antara / Kompas 

Berita Terkait : 
Sisa 3 Tahun Masa Kritis Pemerintahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar