Minggu, 11 September 2011

Keragaman Budaya, Peluang Sekaligus Ancaman

k9-11
ilustrasi



KENDARI, KOMPAS.com--Walikota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), H Amirul Tamim, menyatakan, keragaman budaya di suatu daerah bisa menjadi peluang kekuatan dalam membangun bangsa sekaligus ancaman bagi perpecahan bangsa.

"Bisa menjadi peluang kekuatan dalam membangun bangsa, jika keragaman budaya itu dikelola dengan baik, namun bisa menjadi ancaman perpecahan bangsa, bila tidak mampu mengelolahnya," katanya saat berbicara pada Workshop Internasional Celebrating Diversity di Kendari, Sabtu.

Di wilayah Kota Baubau sendiri kata dia, banyak berdapat suku-suku bangsa dari berbagai daerah di Indonesia dengan beragam tradisi budaya masing-masing.

Bahkan di kalangan masyarakat asli Baubau atau Buton sendiri ujarnya, terdapat beberapa tradisi budaya dengan bahasa yang berbeda-beda pula.

"Ketika Baubau masih menjadi pusat Kesultanan Buton, sedikitnya ada 12 tradisi budaya dan 12 bahasa daerah pula yang digunakan masyarakat setempat. Semua tradisi budaya dan bahasa tersebut, dicirikan dengan tempat wilayah pemukiman masing-masing," katanya.

Di masa sekarang ini jelas Amirul, penduduk Kota Baubau sudah mencirikan ke Indonesiaan, karena di sana (Baubau-red), sudah dihuni hampir semua suku-suku bangsa yang ada di Indonesia, mulai dari Sabang, Aceh hingga Merauke, Papua ada di Baubau.

Hal itu dimungkinkan kata dia karena letak gegorafis Kota Baubau sendiri yang tepat berada di titik tengah antara kawasan Timur Indonesia dan kawasan Barat Indonesia seligus menjadi daerah transit bagi kapal-kapal penumpang yang beraktivitas di dua kawasan tersebut.

"Meski berasal dari berbagai suku bangsa, budaya dan agama, namun warga Kota Baubau tetap hidup rukun dalam keberagaman budaya, suku dan agama tersebut," katanya.

Pemeirntah Kota Baubau sendiri kata dia, dalam menjaga kerukunan dalam kebeberagaman tersebut, telah memetakan wilayah Kota Baubau menjadi tujuh bagian wilayah Kota.
Masing-masing wilayah kota tutur Amirul, dibangun sesuai dengan kondisi sosial budaya dan karakter masyarakat yang bermukim di dalamnya.

"Kalau di wilayah pegunungan yang bercirikan masyarakat petani, maka Pemerintah Kota menyediakan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan warganya, seligus menghargai tradisi budaya mereka. Demikian pula di wilayah peisir, dibangun sesuai dengan kultur budaya masyarakat pesisir," katanya.

Sumber : ANT / Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar