shutterstock
BANDA ACEH, KOMPAS.com -
Kekeringan dan kebakaran hutan yang kini kerap melanda kawasan hutan rawa di Aceh bagian barat bukan semata dampak pemanasan global. Alih fungsi lahan hutan rawa gambut menjadi perkebunan sawit dalam beberapa tahun terakhir menjadi penyebab utamanya. Kebun sawit mematikan sumber-sumber air warga serta, meningkatkan tingkat kekritisan lahan.
Sawit adalah tanaman monokultur yang sangat rakus air.
Ironisnya, tanaman-tanaman yang kini mengubah hampir total lahan hutan rawa payau di kawasan Tripa dan Singkil. Bahkan, kawasan rawa Tripa sekarang ini seperti bukan hutan lagi, tapi kebun sawit semua, ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh TM Zulfikar, Minggu (18/9/2011).
Alih fungsi lahan tersebut terjadi akibat terus dilakukannya pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan perkebunan oleh pemerintah di kawasan hutan rawa itu. Di Kawasan Rawa Tripa sendiri ada 5 perusahaan sawit yang menguasai lebih dari 9 0 persen perkebunan sawit.
Akibatnya, dari sekitar 60.800 hektar lahan hutan rawan itu, kini tinggal sekitar 20.000 hektar yang tersisa sebagai hutan. Selebihnya beralih menjadi perkebunan sawit dan lahan-lahan kritis. Alih fungsi itupun mematikan fungsi alami lahan gambut tersebut, khususnya sebagai penyimpan air. Pada musim hujan, kawasan sekitar Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, selalu dilanda banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau seperti ini, kekeringan selalu ter jadi.
Kami berulang kali sudah mendesak agar penerbitan HGU itu dihentikan dan dicabut. Namun kenyataannya, sampai sekarang perusahaan-perusahaan itu tetap beroperasi dan meluaskan lahannya, ujar Zulfikar.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatur persoalan penggunaan lahan hutan tersebut sampai sekarang belum terealisasi. RTRW tersebut diharapkan memasukkan kawasan rawa gambut di pesisir Aceh sebagai kawa san hutan lindung. Dengan demikian, ada dasar kuat untuk menghentikan alih fungsi lahan yang tak semestinya tersebut.
RTRW Aceh sampai saat ini masih belum tuntas pembahasannya. Ada dua persoalan yang masih menjadi pangkal persoala n, yakni belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) seperti diamanatkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2009, serta perselisihan antara pemerintah kabupaten dan kota dengan Pemerintah Provinsi Aceh terkait luasan kawasan yang semestinya masuk kate gori hutan lindung atau bukan.
Secara terpisah, Camat Tripa Makmur, Abdul Kadir, mengatakan, kekeringan di sekitar kawasan Tripa dari waktu ke waktu semakin mengancam warga. Air bersih adalah persoalan yang paling krusial akibat kekeringan itu.
Di satu kecamatan ini hanya ada delapan sumur. Itu pun airnya kalau waktu musim kemarau sedikit. Warga hanya bisa mengandalkan air sungai untuk semua kebutuhan, kata Kadir.
Ironisnya, debit air sungai-sungai di sekitar kawasan Tripa pada musim kemarau jauh menyusut dibanding pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Air sungai sebagian dialirkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan untuk meng aliri kebun sawit mereka yang kian meluas.
Sumber : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar